Berbeda dengan kaum laki-laki, perempuan dibolehkan mengenakan pakaian yang memenuhi aturan syariat. Pakaian tersebut adalah pakaian yang biasanya dipakai dalam keseharian.
Selain itu, pakaian yang diberi parfum, sarung tangan, dan cadar dilarang dikenakan pada saat ihram. “Sebab ketiga jenis pakaian ini haram dikenakan kaum wanita saat ihram,” tulis Muhammad Utsman Al Khasyt dalam bukunya Haji dan Umroh Wanita Seri Fiqih Wanita Empat Mazhab.
Imam Baihaqi dan Imam Hakim dengan Rizal Shahih telah meriwayatkan hadits yang berasal dari Ibnu Umar Komar di mana ia berkata:
Nabi SAW melarang kaum wanita yang sedang ihram mengenakan sarung tangan, cadar dan kain yang diolesi wars dan jafaran. Adapun sesudah ihram mereka boleh mengenakan kain berwarna yang disukainya seperti kain yang dicelupkan ushfur, kain khaz, perhiasan, celana, gamis atau kauffman (selop).
“Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Hasan dan Imam Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
“Janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan cadar dan jangan pula mengenakan sarung tangan.”
Sementara Imam Bukhari mengetengahkan hadits dari Aisyah, bahwasanya dia mengenakan pakaian yang dicelup ushfur saat sedang ihram dan dia berkata:
“Janganlah seorang wanita yang sedang ihram mengenakan cadar, jangan pula menggunakan sejenis cadar, jangan pula menggunakan kain yang dicelup atau jafaran.”
Semua nash yang telah dipaparkan di atas menunjukkan pakaian yang dikenakan seorang wanita di saat ihram di https://khazzanahtour.id adalah macam-macam pakaian yang dipakai dalam keseharian. Hanya saja tidak boleh baginya mengenakan kain yang diberi parfum dan hendaknya ia menampakkan kedua telapak tangan dan wajahnya.
Bagi kaum wanita yang sedang ihram, wajah mereka tak ubahnya seperti kepala seorang lelaki, yakni harus dibuka. Ihramnya kaum wanita ada di membuka wajahnya yang sama, sebagaimana kesepakatan para ulama.
“Nash di atas juga menunjukkan bolehnya bagi kaum wanita untuk mengenakan berbagai perhiasan seperti emas, perak dan segala perhiasan yang dibolehkan syariat. Namun, syaratnya tidak menarik perhatian dan tetap menjaga kesakralan ibadah yang tengah dikerjakan.
utusan Tuhan Muhammad SAW selaku suri taulaserta buat ummat muslim,
perintah membuka pundak kanan masa menggunakan busana suci masa mengaplikasikan ibadah Haji atau Umrah bersumber dari terdapatnya perjanjiain Hudaibiyah, antara orang muslimin serta orang kufur Qurays yang salah satu isinya menjelaskan kalau, utusan Tuhan Muhammad turut orang muslimin dapat merambah kota Mekkah di Tahun berikutnya.
Kemuian tibalah masa dimana utusan Tuhan Muhammad serta orang muslimin datang ke kota Mekkah buat mengaplikasikan ibadah Umrah, lamun senantiasa saja orang kufur Qurasy tidak riang menatap kehadiran utusan Tuhan turut orang muslimin gara-gara gelisah orang-orang yang bersemayam di kota Mekkah membuntuti agama utusan Tuhan Muhammad.
Abu Sofyan yang belum masuk islam pada masa itu selanjutnya menciptakan cacian kalau utusan Tuhan Muhammad serta golongan Muslimin terantuk penyakit Kuning, Penyakit menjalar, Penyakit yang serius serta mereka dalam keadaan yang lemas.
Maka direkomendasikan buat populasi Mekkah supaya pergi dari kota Mekkah serta bersemayam di gunung-gunung kurang lebih Mekkah.
utusan Tuhan mengindahkan kabar burung itu serta berucap ” Allah membalasi siapapun yang hari ini menampilkan kekokohannya” selanjutnya Nabi mengisntruksikan terhadap para serta golongan muslimin ” bukalah pundak kanan anda kita tunjukkan pada mereka kalau kita tidak terkenan penyakit apapula dan dalam status bugar, pada masa mengaplikasikan tawaf pada putaran awal capai ketiga kita berlari-lari kecil dalam status semangat”.
Itulah penyebab mengapa kita di anjurkan buat membuka pundak kanan masa memasehinggai busana ihram.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“